Jakarta, CNN Indonesia — TikTok kabarnya sedang menguji coba fitur pengingat tidur (sleep reminders). Bagaimana cara kerjanya?
Menurut laporan Business Standard, fitur ini akan membuat pengguna dapat mengatur alarm saat tidur dan mematikan notifikasi ketika tidur selama tujuh jam sesuai dengan waktu yang direkomendasikan.
Fitur ini nantinya akan muncul di bawah setelan ‘screen time’ dalam aplikasi dan opsi baru ‘sleep reminders’ akan ditampilkan ke pengguna yang berpartisipasi dalam tahap pengujian ini.
TikTok menilai fitur sleep reminder atau pengingat tidur ini akan membantu pengguna “mengetahui waktu tidurnya dan TikTok akan membantu mereka tidur ketika diinginkan”
Pengguna bakal diingatkan untuk menutup TikTok ketika jam mencapai waktu yang telah dipilih sebelumnya.
Lebih lanjut, TikTok juga akan mematikan notifikasi selama tujuh jam setelah waktu tidur pengguna telah aktif.
Menurut juru bicaranya, TikTok terus mengembangkan cara baru dalam ha meningkatkan kualitas hidup pengguna dan alat ini meluaskan fitur-fitur serupa lainnya di dalam aplikasi yang telah ada lebih dahulu.
Pada Februari 2020, TikTok telah meluncurkan alat pengatur screen time dan “sejak itu mengenalkan fitur tambahan yang bertujuan memberikan pengguna kontrol yang lebih luas terhadap penggunaan aplikasinya”
Sementara itu, melansir Techcrunch, kemampuan TikTok untuk mengikat penggunanya berjam-jam telah menjadi beberapa obyek penelitian psikologis. Salah satunya dibuat oleh Troy Smith dari University of Trinidad and Tobago.
Ia mengadaptasi Bergen Facebook Addiction Scale dan menggunakannya ke 173 pengguna TikTok dan 313 pengguna Facebook.
Dikutip Independent, Bergen Facebook Addiction Scale memiliki beberapa kriteria: punya pikiran obsesif terhadap Facebook, merasa harus terus menerus menggunakan Facebook, menggunakan Facebook untuk melupakan masalah pribadi, mencoba mengurangi penggunaan Facebook namun gagal, menjadi lelah atau kecewa ketika dilarang menggunakan Facebook, dan menggunakan Facebook hingga berdampak negatif terhadap sekolah atau pekerjaan.
Untuk studinya, Troy mengganti kata ‘Facebook’ dengan TikTok dalam kriteria tersebut. Dari penelitiannya, 68,2 persen pengguna masuk ke dalam golongan tak berisiko terkena kecanduan TikTok.
Sementara, 25,4 persen responden masuk ke dalam kategori ‘risiko rendah’ dan 6,4 persen masuk ke dalam kategori ‘berisiko’.
“Meskipun kebanyakan pengguna sepertinya menggunakan TikTok tidak dengan cara yang problematis, studi ini menunjukkan risiko penggunaan berlebih dan problematik tetap ada,” kata Troy.
“Dan hal itu berkaitan dengan perilaku mirip kecanduan yang bisa berpotensi berdampak negatif kepada kehidupan sehari-hari penderitanya,” ujarnya menambahkan.
(lth/lth)
Sumber : cnnindonesia.com